HalSel, REPORTASE - Kasus eksploitasi seksual terhadap anak di Halmahera Selatan. Seorang anak perempuan berinisial SM, diduga menjadi korban eksploitasi seksual oleh 16 pria dewasa dalam kurun waktu 2022 hingga 2024. Kasus ini mencuat ke publik seiring meningkatnya desakan masyarakat agar aparat penegak hukum bertindak tegas dan tidak menunggu kasus ini viral.
Informasi dari berbagai pihak menyebutkan bahwa hubungan antara korban dan para pelaku bersifat transaksional. Tidak ada paksaan langsung secara fisik. Namun relasi tersebut tetap tergolong sebagai eksploitasi seksual terhadap anak, sesuai dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa tidak ada bentuk persetujuan yang sah dari anak di bawah umur dalam praktik seksual, terlebih dengan unsur transaksi.
Distorsi Narasi: Antara Prostitusi dan Rudapaksa
Pernyataan sejumlah pihak mengenai kasus ini memunculkan tafsir yang membingungkan publik. Sebagian menyebut kasus ini sebagai "prostitusi," sebuah istilah yang dalam konteks hukum bisa memiliki makna ganda bisa legal atau ilegal, tergantung regulasi dan kondisi setempat. Namun ketika istilah ini digunakan pada konteks anak di bawah umur, maka menjadi tidak relevan dan berbahaya, karena menyesatkan persepsi masyarakat.
Terkait hal ini, Ketua LSM KANE, Risal Sangaji, disebut-sebut akan dilaporkan ke Polda Maluku Utara atas pernyataannya yang diduga dapat menyesatkan publik dan melemahkan penanganan kasus eksploitasi seksual anak. Pernyataannya yang menyamakan kasus ini dengan praktik prostitusi dinilai mengaburkan substansi pidana yang terjadi.
Ironisnya, narasi lain yang menyebutkan bahwa "rudapaksa adalah kekerasan seksual yang melanggar kehendak korban secara murni (kriminal murni)" juga berpotensi disalahartikan. Jika masyarakat menganggap tidak adanya pemaksaan berarti tidak ada pelanggaran, maka secara tidak langsung masyarakat ikut membiarkan anak dipaksa dalam diam, dan yang ada secara tidak langsung RUDAPAKSA menyudutkan masyarakat karna diam maka sebenarnya yang membuat pernyataan inipun harusnya dilaporkan ke Polda Maluku Utara Juga.
Dengan demikian, pihak-pihak yang menyebarkan narasi semacam ini yang dapat menimbulkan multi tafsir dan melemahkan posisi korban juga patut dimintai pertanggungjawaban hukum.
Kasus Eksploitasi Seksual Anak, Bukan Sekadar Moralitas
Kasus ini adalah bentuk eksploitasi seksual anak dan kejahatan asusila, bukan sekadar isu moral atau penyimpangan sosial. Fakta-fakta yang terungkap menunjukkan bahwa ada sistem pembiaran sosial baik dari lingkungan sekitar, tokoh masyarakat, aparat desa, maupun pihak sekolah yang gagal mencegah dan melindungi anak dari situasi rentan ini.
Desakan publik kini menguat agar kasus ini diserahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian, dengan dorongan agar aparat bertindak tegas terhadap para pelaku dewasa yang terlibat. Penanganan harus dilakukan berdasarkan hukum perlindungan anak yang tegas dan tidak mengenal kompromi.
Cermin Buram Sistem Perlindungan Anak dan Etika Media
Kasus ini juga memperlihatkan lemahnya kesadaran hukum masyarakat dan kegagalan media dalam mengedepankan jurnalisme investigatif. Narasi yang berkembang justru memperdebatkan istilah, bukan menegakkan hak korban. Media semestinya menjadi mitra dalam menyuarakan keadilan, bukan menambah kabut kebingungan.
Anak bukan objek transaksi. Tidak ada ruang kompromi dalam kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak. Siapa pun yang mencoba membelokkan narasi, menyamakan eksploitasi anak dengan prostitusi, atau menyesatkan publik dengan tafsir yang memperlemah posisi korban, harus ikut bertanggung jawab di hadapan hukum.
Saatnya penegak hukum menindak secara adil dan tegas. Tidak hanya para pelaku langsung, tetapi juga mereka yang turut memperkeruh penegakan hukum dengan narasi-narasi menyesatkan.